Hadirjuga KH Agus Solachul A'am Wahib Wahab (Gus A'am), Gus Rozaq, KH A Wachid Muin, KH Muhammad Najih Maimoen (Gus Najih) dari Sarang, KH Abdul Zaini (Besuk, Pasuruan), KH Abdul Hamid (Lasem). Tampak pula KH Abdullah Muchid Pendiri IPIM (Ikatan Persaudaraan Imam Masjid Seluruh Indonesia), Prof Dr KH Ahmad Zahro, MA al-Chafidh Ketua IPIM
RiwayatKH.Abdul Hamid ( Kiyai Hamid Pasuruan ) KH. Abdul hamid bin Abdullah bin Umar Basyaiban BaAlawi Lahir pada tahun 1333 H, di Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang, Jawa Tengah.Wafat 25 Desember 1985. Pendidikan: Pesantren Talangsari, Jember; Pesantren Kasingan, Rembang, Jateng; Pesantren Termas, Pacitan, Jatim. Tiga tahun kemudian, cucu
Kebaikanyang dihadiahkan kaum Muslimin kepada ahli kubur, baik berupa bacaan Al-Qur'an, doa, ataupun sedekah, memberi manfaat kepada mereka. (Foto ilustrasi: deviantart.com)Sye
KBRN Pontianak : Mengisi waktu setelah Konferwil PWNU Kalbar dinyatakan diundur oleh PBNU, Andi Syafrani melakukan wisata dan ziarah ke Provinsi Jawa Timur (10/7/2022). Bersama istri dan anak-anaknya, Syafrani melakukan perjalanan ke Jawa Timur, yakni ke Malang, Pasuruan, hingga Jombang. Awalnya
Haltersebut beliau lakukan karena ta'dzim pada anak cucu Rosululloh SAW. (cerita Hb,Abubakar Muhdlor dari KH.Ahmad pacarkeling dari Habib Umar sendiri). Tentang kecintaannya pada para sadat ini tidak perlu diragukan lagi bahkan Habib Ahmad bin Hadi Al-Hamid Pasuruan berkata : KH.Abdul Karim itu mahabbahnya pada Ahlul Bait 24 karat, anak
FhVuQO. Pasuruan, – Penggurus Cabang Nahdlatul Ulama PCNU Kota Pasuruan menggelar Konferensi Cabang Konfercab ke – IX. Acara ini berlangsung selama dua hari, Sabtu dan Minggu 1-2 Februari 2020 di Pesantren Terpadu Bayt Al Hikmah, Bugulkidul, Kota hasil Konfercab ke – IX ini, KH Nailur Rohman atau yang akrab disapa Gus Amak, cucu Mbah KH Abdul Hamid Pasuruan terpilih secara aklamasi menjadi Ketua Tanfidziyah PCNU Kota Pasuruan Masa Khidmat 2020 – muda NU Pasuruan yang dikenal multitalenta ini, dipilih secara aklamasi oleh ahlul halli wal aqdi ahwa yang berjumlah sebanyak 6 Kiai Amak, dalam acara Konfercab yang dihadiri sekitar 200 peserta tersebut, tim ahwa juga memilih KH Abdul Halim Mas’ud sebagai Rois Syuriyah PCNU Kota seusai acara, Kiai Amak mengatakan bahwa kedepan ia akan fokus pada penguatan organisasi dan konsolidasi. Serta akan berkolaborasi menjalin ke mitraan dengan semua pihak.“Selain itu kami akan memantapkan akidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah Aswaja terutama kepada para penggurus di tingkat ranting. Serta akan melakukan pendekatan kepada para milineal, karena saat ini eranya milineal,” paparnya. ajo/gus.
- KH Abdul Hamid Pasuruan atau kerap disapa Mbah Hamid, adalah seorang ulama dari Rembang, Jawa Tengah. Meski lahir di Rembang, ia menghabiskan hidupnya di Pasuruan, Jawa Timur hingga dikenal sebagai KH Abdul Hamid Pasuruan. KH Abdul Hamid adalah pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah di dikenal sebagai sosok ulama yang sangat sabar, KH Abdul Hamid juga dipercaya memiliki karomah wali. Berikut biografi singkat KH Abdul Hamid Pasuruan. Baca juga Biografi Gus Miek, Ulama yang Memiliki Karomah WaliMemiliki nama asli Abdul Mu'thi KH Abdul Hamid lahir pada 22 November 1914 di Desa Sumber Girang, Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Ia lahir dengan nama Abdul Mu'thi, dan kerap dipanggil dengan "dul" saja. Ketika kecil, KH Abdul belajar mengaji kepada dua ulama besar di Lasem, yakni KH Ma'shum dan Kh Baidhawi. Di samping itu, ia memiliki hobi bermain sepak bola, yang sempat membuat sang ayah khawatir karena waktu mengajinya berkurang. Sejak kecil KH Abdul diyakini menunjukkan tanda-tanda sebagai wali atau kekasih Allah karena memiliki banyak karomah atau kelebihan yang sulit dijangkau akal.
Hari ini, haul ke-39 almaghfurlah KH Abdul Hamid bin Abdullah Umar Mbah Hamid Pasuruan digelar. Sebagai bentuk rasa takdzim dan berharap kebaikan almaghfurlah, pesarean Mbah Hamid yang berada di tengah Kota Pasuruan tidak pernah sepi dari peziarah. Tidak sedikit santri dan sejumlah kalangan yang kini menjadi orang penting, ternyata berkesempatan bertemu fisik dengan almaghfurlah ini. Tentu saja, sejumlah kisah dan pengalaman mengiringi dari perjumpaan tersebut. KH Abdul Hamid lahir pada tahun 1333 H, di Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang, Jawa Tengah dan wafat 25 Desember 1985. Melewati pendidikan di Pesantren Talangsari, Jember, Pesantren Kasingan, Rembang, Jateng, Pesantren Tremas, Pacitan hingga menjadi pengasuh Pesantren Salafiyah, Pasuruan. Kesabarannya memang diakui tidak hanya oleh para santri, tapi juga oleh keluarga dan masyarakat serta umat Islam yang pernah mengenalnya. Sangat jarang dilihat marah, baik kepada santri maupun kepada anak dan istrinya. Kesabaran Kiai Hamid di hari tua, khususnya setelah menikah, sebenarnya kontras dengan sifat kerasnya di masa muda. Kiai Hamid adalah anak ketiga dari tujuh belas bersaudara, lima di antaranya saudara seibu. Hamid kecil dibesarkan di tengah keluarga santri. Ayahnya, Kiai umar, adaiah seorang ulama di Lasem, dan ibunya adalah anak Kiai Shiddiq, juga ulama di Lasem dan meninggal di Jember. Masa Kecil Kiai Shiddiq adalah ayah KH Machfudz Shiddiq, tokoh Nahdlatul Ulama, dan KH Ahmad Shiddiq, mantan Rais Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama PBNU. Keluarga Hamid memang memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan dunia pesantren. Sebagaimana saudara-saudaranya yang lain, sejak kecil dipersiapkan untuk menjadi kiai. Anak keempat itu mula-mula belajar membaca al-Quran dari ayahnya, dan pada umur sembilan tahunmendapat ilmu fiqh dasar. Tiga tahun kemudian, cucu kesayangan itu mulai pisah dari orang tua untuk menimba ilmu di pesantren kakeknya, KH Shiddiq, di Talangsari, Jember. Konon, Hamid muda sangat disayang baik oleh ayah maupun kakeknya. Semasih kecil, sudah tampak tanda-tanda bahwa bakal menjadi wali dan ulama besar. Pada usia enam tahun bahkan dikisahkan sudah bertemu dengan Rasulullah. Dalam kepercayaan yang berkembang di kalangan warga NU, khususnya kaum sufi, Rasulullah walau telah wafat sekali waktu menemui orang-orang tertentu, khususnya para wali. Bukan dalam mimpi saja, tapi secara nyata. Pertemuan dengan Rasul menjadi semacam legitimasi bagi kewalian seseorang. Hamid muda mulai mengaji fiqh dari ayahnya dan para ulama di Lasem. Pada usia 12 tahun, akhirnya berkelana. Mula-mula belajar di pesantren kakeknya, KH Shiddiq, di Talangsari, Jember. Tiga tahun kemudian diajak sang kakek untuk pergi haji yang pertama kali bersama keluarga, paman serta bibinya. Tak lama kemudian pindah ke pesantren di Kasingan, Rembang. Di desa itu dan desa sekitarnya, Hamid belajar fiqh, hadits, tafsir dan lainnya. Pada usia 18 tahun, pindah lagi ke Pesantren Tremas, Pacitan. Konon, seperti dituturkan anak bungsunya yang kini menggantikannya sebagai pengasuh Pesantren Salafiyah, KH Idris bahwa pesantren itu sudah cukup maju untuk ukuran zamannya, dengan administrasi yang cukup rapi. Pesantren yang diasuh Kiai Dimyathi itu telah melahirkan banyak ulama terkemuka, antara lain KH Ali Ma’shum, mantan Rais Am PBNU. Dalam pandangan Kiai Idris, inilah pesantren yang telah banyak berperan dalam pembentukan bobot keilmuan Hamid muda. Di sana juga belajar berbagai ilmu keislaman. Sepulang dari pesantren itu, tinggal di Pasuruan, bersama orang tuanya. Di sini pun semangat keilmuannya tak pernah padam. Dengan tekun, setiap hari mengikuti pengajian Habib Ja’far, ulama besar di Pasuruan saat itu, tentang ilmu tasawuf. Menjadi Blantik Hamid remaja menikah pada usia 22 tahun dengan sepupunya sendiri, Nyai H Nafisah, putri KH Ahmad Qusyairi. Pasangan ini dikarunia enam anak, satu di antaranya putri.. Kiai Hamid menjalani masa-masa awal kehidupan berkeluarganya tidak dengan mudah. Selama beberapa tahun harus hidup bersama mertuanya di rumah yang jauh dari mewah. Untuk menghidupi keluarganya, tiap hari mengayuh sepeda sejauh 30 kilo meter pulang pergi, sebagai blantik sepeda. Sebab, kata Kiai ldris, pasar sepeda waktu itu ada di Desa Porong, Pasuruan, 30 kilo meter ke arah barat Kota Pasuruan. Kesabarannya bersama juga diuji. Nafisah yang dinikahkan oleh orang tuanya selama dua tahun tidak patut tidak mau akur. Namun Kiai Hamid menghadapi dengan tabah. Anak pertama, Anas telah mengantar mendung di rumah keluarga muda itu. Terutama bagi sang istri, Nyai Nafisah yang begitu gundah, sehingga Kiai Hamid merasa perlu mengajak istrinya ke Bali sebagai pelipur lara. Sekali lagi Nyai Nafisah dirundung kesusahan yang amat sangat setelah bayinya yang kedua, Zainab, meninggal dunia pula, padahal umurnya baru beberapa bulan. Lagi-lagi kiai yang bijak itu membawanya bertamasya ke tempat lain. KH Hasan Abdillah, adik istri Kiai Hamid, menuturkan. Bahwa seperti layaknya keluarga, Kiai Hamid pernah tidak disapa oleh istrinya selama empat tahun. Tapi, kendati demikian hal itu tidak pernah sekalipun terdengar keluhan darinya. Bahkan sedemikian rupa dapat menutupinya sehingga tak ada orang lain yang mengetahui. Uwong tuo kapan ndak digudo karo anak utowo keluarga, ndak endang munggah derajate orang tua kalau tidak pernah mendapat cobaan dari anak atau keluarga, ia tidak lekas naik derajatnya, katanya suatu kali mengenai ulah seorang anaknya yang agak merepotkan. Kesabaran Kiai Hamid juga diterapkan dalam mendidik anak-anaknya. Menurut Kiai Idris, mereka tidak pernah mendapat marah, apalagi pukulan dari ayahnya. Ayahnya lebih banyak memberikan pendidikan lewat keteladanan. Nasihat sangat jarang diberikan. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sangat prinsip, shalat misalnya, Kiai Hamid sangat tegas. Merupakan keharusan bagi anak-anaknya untuk bangun pada saat fajar menyingsing, guna menunaikan shalat Subuh, meski seringkali orang lain yang disuruh membangunkan mereka, Kiai Hamid juga memberi pengajaran membaca al-Quran dan fiqih pada anak-anaknya di masa kecil. Namun, begitu mereka menginjak remaja, Kiai Hamid lebih suka menyerahkan anak-anaknya ke pesantren lain. Bukan hanya kepada anak-anak, tapi juga istrinya, Kiai Hamid memberi pengajaran. Waktunya tidak pasti. Kitab yang diajarkan pun tidak pasti. Bahkan, mengajar tidak secara berurutan dari bab satu ke bab berikutnya. Pendeknya, Kiai Hamid seperti asal comot kitab, lalu dibuka, dan diajarkan kepada istrinya. Dan lebih banyak, kata Kiai Idris, yang diajarkan adalah kitab-kitab mengenai akhlak, seperti Bidayah al-Hidayah karya Imam Ghazali, “Tampaknya yang lebih ditekankan adalah amalan, dan bukan ilmunya itu sendiri,” jelas Kiai Idris. Amalan dari kitab itu pula yang ditekankan Kiai Hamid di Pesantren Salafiyah. Kalau pesantren-pesantren tertentu dikenal dengan spesialisasinya dalam bidang-bidang ilmu tertentu – misainya alat gramatika bahasa Arab atau fiqh, maka Persantren Salafiyah menonjol sebagai suatu lembaga untuk mencetak perilaku seorang santri yang baik. Di sini, Kiai Hamid mewajibkan para santri shalat berjamaah lima waktu. Sementara jadwal kegiatan pesantren lebih banyak diisi dengan wirid yang hampir memenuhi jam aktif. Semuanya harus diikuti seluruh santri. Kiai Hamid sendiri, tidak banyak mengajar, kecuali kepada santri tertentu yang dipilih sendiri. Selain itu, khususnya di masa akhir kehidupannya, hanya mengajar sepekan sekali untuk umum. Mushala pesantren dan pelatarannya setiap Ahad selalu penuh oleh pengunjung untuk mengikuti pengajian selepas shalat Shubuh. Mereka tidak hanya datang dari Pasuruan, tapi juga Malang, Jember, bahkan Banyuwangi, termasuk Wali Kota Malang waktu itu. Yang diajarkan adalah kitab Bidayah al-Hidayah karya al-Ghazali. Konon, dalam setiap pengajian, Kiai Hamid hanya membaca beberapa baris dari kitab itu. Selebihnya adalah cerita tentang ulama masa lalu sebagai teladan. Tak jarang, air matanya mengucur deras ketika bercerita. Disuguhi Kulit Roti Kiai Hamid memang sosok ulama sufi, pengagum imam Al-Ghazali dengan kitab-kitabnya lhya Ulum ad-Din dan Bidayah al-Hidayah. Tapi, corak kesufiannya bukanlah yang menolak dunia sama sekali. Konon, memang selalu menolak diberi mobil Mercedez, tapi mau menumpanginya. Bangunan rumah dan perabotannya cukup baik, meski tidak terkesan mewah. Kiai Hamid gemar mengenakan baju dan bersorban serba putih. Cara berpakaian maupun penampilannya selalu terlihat rapi, tidak kedodoran. Pilihan pakaian yang dipakai juga tidak bisa dibilang berkualitas rendah. “Berpakaianlah yang rapi dan baik. Biar saja kamu di sangka orang kaya. Siapa tahu anggapan itu merupakan doa bagimu,” katanya suatu kali kepada seorang santrinya. Namun, Kiai Hamid bukanlah orang yang suka mengumbar nafsu justru berusaha melawannya. Hasan Abdillah bercerita, suatu kali Kiai Hamid berniat untuk mengekang nafsunya dengan tidak makan nasi tirakat. Tetapi, istrinya tidak tahu itu. Kepadanya lalu disuguhkan roti. Untuk menyenangkannya, Kiai Hamid memakan roti itu, tapi tidak semuanya, melainkan kulitnya saja. “O, rupanya dia suka kulit roti,” pikir istrinya. Esoknya ia membeli roti dalam jumlah yang cukup besar, lalu menyuguhkan kulitnya saja. Kiai Hamid tertawa Aku bukan penggemar kulit roti. Kalau aku memakannya kemarin, itu karena aku tirakat,” ujarnya. Konon, berkali-kali Kiai Hamid ditawari mobil Mercedez oleh H Abdul Hamid, orang kaya di Malang. Tapi, selalu menolaknya dengan halus. Dan untuk tidak membuatnya kecewa, Kiai Hamid mengatakan akan menghubunginya sewaktu-waktu membutuhkan mobil itu. Kiai Hamid memang selalu berusaha tidak mengecewakan orang lain, suatu sikap yang terbentuk dari ajaran idkhalus surur menyenangkan orang lain seperti dianjurkan Nabi. Misalnya, jika bertamu dan sedang berpuasa sunnah, selalu dapat menyembunyikannya kepada tuan rumah, sehingga tidak merasa kecewa. Selain itu, selalu mendatangi undangan, di mana pun dan oleh siapa pun. Selain terbentuk oleh ajaran idkhalus surur, sikap sosial Kiai Hamid terbentuk oleh suatu ajaran yang dipahami secara sederhana mengenai kepedulian sosial Islam terhadap kaum dluafa yang diwujudkan dalam bentuk pemberian sedekah. Kiai Hamid memang bukan ahli ekonomi yang berpikir secara lebih makro. Walau begitu, dapat memperkirakan, sikap sosialnya bukan sekadar refleksi dari motivasi keagamaan yang egoistis, dalam arti hanya untuk mendapat pahala, dan kemudian merasa lepas dari kewajiban. Hal itu menunjukkan betapa ajaran sosial Islam sudah membentuk tanggung jawab sosial dalam dirinya. Ajaran Islam, tanggung jawab sosial mula-mula harus diterapkan kepada keluarga terdekat, kemudian tetangga paling dekat dan seterusnya. Urut-urutan prioritas demikian tampak pada Kiai Hamid. Kepada tetangga terdekat yang tidak mampu, konon juga memberikan bantuan secara rutin, terutama bila mereka sedang mempunyai hajat, apakah itu untuk mengawinkan atau mengkhitan anak. H Misykat yang mengabdi hingga Kiai Hamid wafat bercerita bahwa bila ada tetangga yang sedang punya hajat, Kiai Hamid memberi uang Rp plus 10 kilogram beras. Islam mengajarkan, hari raya merupakan hari di mana umat Islam dianjurkan bergembira sebagai rasa syukur setelah menunaikan ibadah puasa sebulan penuh. Menjelang hari raya, sebagai layaknya seorang ulama, Kiai Hamid tidak menerima hadiah dan zakat fitri. Ditulis ulang dari Biografi KH Abdul Hamid Pasuruan Jawa Timur
BUGUL KIDUL, Radar Bromo – Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama PCNU Kota Pasuruan berganti. HM Muhammad Nailur Rohman terpilih sebagai Ketua Tanfidziyah PCNU Kota Pasuruan periode 2020 sampai 2025. Gus Ammak- sapaan akrab HM Muhammad Nailur Rohman terpilih secara aklamasi Minggu 2/2 di Konfercab PCNU Kota Pasuruan ke 9. SIAPKAN PENGURUS Usai terpilih, HM Nailur Rohman kanan dan KH Abdul Halim Mas’ud akan menyiapkan pengurus PCNU. Foto Fahrizal Firmani/Jawa Pos Radar Bromo Konfercab ini sendiri berlangsung selama dua hari di Pondok Pesantren Ponpes Bayt Al Hikmah Kota Pasuruan pada 1-2 Februari. Dalam konfercab ini pula diputuskan KH Abdul Halim Mas’ud sebagai Rais Syuriah PCNU Kota Pasuruan periode 2020 sampai 2025. Ia menggantikan Rais Syuriah sebelumnya yakni KH Said Kholil. Proses pemilihan Rais Syuriah dan Ketua Tanfidziyah PCNU ini berlangsung lancar. Setelah sebelumnya dibentuk ahlul wal aqdi AHWA terlebih dahulu. AHWA ini beranggotakan enam orang dan diketuai oleh KH Said Kholil. Lima anggota AHWA ini diantaranya adalah KH Idris Hamid, KH Abdul Halim Mas’ud, Ustadz Chudori Nur, Ustadz Mundzir dan Kyai Abdulloh Shodiq. Usai berembuk, AHWA ini langsung memutuskan KH Abdul Halim Mas’ud sebagai Rais Syuriah dan KH Muhammad Nailur Rohman sebagai Ketua Tanfidziyah. Gus Halim-sapaan akrab KH Abdul Halim Mas’ud mengungkapkan, sebagai Rais Syuriah yang baru, dirinya akan melakukan penguatan organisasi dan konsolidasi. Diharapkan di semua tingkatan ada pertemuan antar pengurus. “Selama ini banyak pengurus yang bingung apa yang harus dilakukan. Nah dengan memperkuat komunikasi maka mereka akan saling membicarakan rencana yang baik bagi PCNU,” ungkapnya. Gus Ammak menyebut rencana pengembangan PCNU tidak terlepas dengan program kerja di musyawarah kerja musker tingkat cabang. Tentunya dengan pembentukan pengurus terlebih dahulu. Pimpinan Ponpes Bayt Al Hikmah ini mengaku, sejauh ini secara garis besar di bidang keagamaan, dakwah dan layanan sosial di PCNU sudah berjalan dengan baik. Namun ia tidak menepis ada lembaga yang memang perlu diperhatikan. Seperti dalam bidang perekonomian. Selain itu, cucu dari KH Abdul Hamid ini, ingin memaksimalkan sebutan kota santri yang melekat di Kota Pasuruan. Yakni dengan lebih mendekat pada pemudanya sebab komunitas pemuda di Kota Pasuruan cukup besar. Misalnya dengan hobi dan seni. “Tentu pendekatan mileneal yang akan kami lakukan pada pemuda. Identitas Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang melekat di NU di Kota Pasueuaj juga akan lebih dioptimalkan,” terangnya. riz/fun BUGUL KIDUL, Radar Bromo – Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama PCNU Kota Pasuruan berganti. HM Muhammad Nailur Rohman terpilih sebagai Ketua Tanfidziyah PCNU Kota Pasuruan periode 2020 sampai 2025. Gus Ammak- sapaan akrab HM Muhammad Nailur Rohman terpilih secara aklamasi Minggu 2/2 di Konfercab PCNU Kota Pasuruan ke 9. SIAPKAN PENGURUS Usai terpilih, HM Nailur Rohman kanan dan KH Abdul Halim Mas’ud akan menyiapkan pengurus PCNU. Foto Fahrizal Firmani/Jawa Pos Radar Bromo Konfercab ini sendiri berlangsung selama dua hari di Pondok Pesantren Ponpes Bayt Al Hikmah Kota Pasuruan pada 1-2 Februari. Dalam konfercab ini pula diputuskan KH Abdul Halim Mas’ud sebagai Rais Syuriah PCNU Kota Pasuruan periode 2020 sampai 2025. Ia menggantikan Rais Syuriah sebelumnya yakni KH Said Kholil. Proses pemilihan Rais Syuriah dan Ketua Tanfidziyah PCNU ini berlangsung lancar. Setelah sebelumnya dibentuk ahlul wal aqdi AHWA terlebih dahulu. AHWA ini beranggotakan enam orang dan diketuai oleh KH Said Kholil. Lima anggota AHWA ini diantaranya adalah KH Idris Hamid, KH Abdul Halim Mas’ud, Ustadz Chudori Nur, Ustadz Mundzir dan Kyai Abdulloh Shodiq. Usai berembuk, AHWA ini langsung memutuskan KH Abdul Halim Mas’ud sebagai Rais Syuriah dan KH Muhammad Nailur Rohman sebagai Ketua Tanfidziyah. Gus Halim-sapaan akrab KH Abdul Halim Mas’ud mengungkapkan, sebagai Rais Syuriah yang baru, dirinya akan melakukan penguatan organisasi dan konsolidasi. Diharapkan di semua tingkatan ada pertemuan antar pengurus. “Selama ini banyak pengurus yang bingung apa yang harus dilakukan. Nah dengan memperkuat komunikasi maka mereka akan saling membicarakan rencana yang baik bagi PCNU,” ungkapnya. Gus Ammak menyebut rencana pengembangan PCNU tidak terlepas dengan program kerja di musyawarah kerja musker tingkat cabang. Tentunya dengan pembentukan pengurus terlebih dahulu. Pimpinan Ponpes Bayt Al Hikmah ini mengaku, sejauh ini secara garis besar di bidang keagamaan, dakwah dan layanan sosial di PCNU sudah berjalan dengan baik. Namun ia tidak menepis ada lembaga yang memang perlu diperhatikan. Seperti dalam bidang perekonomian. Selain itu, cucu dari KH Abdul Hamid ini, ingin memaksimalkan sebutan kota santri yang melekat di Kota Pasuruan. Yakni dengan lebih mendekat pada pemudanya sebab komunitas pemuda di Kota Pasuruan cukup besar. Misalnya dengan hobi dan seni. “Tentu pendekatan mileneal yang akan kami lakukan pada pemuda. Identitas Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang melekat di NU di Kota Pasueuaj juga akan lebih dioptimalkan,” terangnya. riz/fun Artikel Terkait
Biografi KH Abdul Hamid © KH. Abdul hamid Lahir pada tahun 1333 H, di Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang, Jawa 25 Desember 1985. Pendidikan Pesantren Talangsari, Jember; Pesantren Kasingan, Rembang, Jateng; Pesantren Termas, Pacitan, Jatim. Pengabdian pengasuh Pesantren Salafiyah, Pasuruan Kesabarannya memang diakui tidak hanya oleh para santri, tapi juga oleh keluarga dan masyarakat serta umat islam yang pernah mengenalnya. Sangat jarang ia marah, baik kepada santri maupun kepada anak dan istrinya. Kesabaran Kiai Hamid di hari tua, khususnya setelah menikah, sebenarnya kontras dengan sifat kerasnya di masa muda. “Kiai Hamid dulu sangat keras,” kata Kiai Hasan Abdillah. Kiai Hamid lahir di Sumber Girang, sebuah desa di Lasem, Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 1333 H. Ia adalah anak ketiga dari tujuh belas bersaudara, lima di antaranya saudara seibu. Kini, di antara ke 12 saudara kandungnya, tinggal dua orang yang masih hidup, yaitu Kiai Abdur Rahim, Lasem, dan Halimah. Sedang dari lima saudara seibunya, tiga orang masih hidup, yaitu Marhamah, Maimanah dan Nashriyah, ketiganya di Pasuruan. Hamid dibesarkan di tengah keluarga santri. Ayahnya, Kiai umar, adaiah seorang ulama di Lasem, dan ibunya adalah anak Kiai Shiddiq, juga ulama di Lasem dan meninggal di Jember, Jawa Timur. Masa Kecil Kiai Shiddiq adalah ayah KH. Machfudz Shiddiq, tokoh NU, dan KH. Ahmad Shiddiq, mantan Ro’is Am NU. Keluarga Hamid memang memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan dunia pesantren. Sebagaimana saudara-saudaranya yang lain, Hamid sejak kecil dipersiapkan untuk menjadi kiai. Anak keempat itu mula-mula belajar membaca al-Quran dari ayahnya. Pada umur sembilan tahun, ayahnya mulai mengajarinya ilmu fiqh dasar. Tiga tahun kemudian, cucu kesayangan itu mulai pisah dari orangtua, untuk menimba ilmu di pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember, Jawa Timur. Konon, demikian penuturan Kiai Hasan Abdillah, Kiai Hamid sangat disayang baik oleh ayah maupun kakeknya. Semasih kecil, sudah tampak tanda-tanda bahwa ia bakal menjadi wali dan ulama besar. “Pada usia enam tahun, ia sudah bertemu dengan Rasulullah,” katanya. Dalam kepercayaan yang berkembang di kalangan warga NU, khususnya kaum sufi, Rasulullah walau telah wafat sekali waktu menemui orang-orang tertentu, khususnya para wali. Bukan dalam mimpi saja, tapi secara nyata. Pertemuan dengan Rasul menjadi semacam legitimasi bagi kewalian seseorang. Kiai Hamid mulai mengaji fiqh dari ayahnya dan para ulama di Lasem. Pada usia 12 tahun, ia mulai berkelana. Mula-mula ia belajar di pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember. Tiga tahun kemudian ia diajak kakeknya untuk pergi haji yang pertama kali bersama keluarga, paman-paman serta bibi-bibinya. Tak lama kemudian dia pindah ke pesantren di Kasingan, Rembang. Di desa itu dan desa-desa sekitarnya, ia belajar fiqh, hadits, tafsir dan lain lain. Pada usia 18 tahun, ia pindah lagi ke Termas, Pacitan, Jawa Timur. Konon, seperti dituturkan anak bungsunya yang kini menggantikannya sebagai pengasuh Pesantren Salafiyah, H. Idris, “Pesantren itu sudah cukup maju untuk ukuran zamannya, dengan administrasi yang cukup rapi. Pesantren yang diasuh Kiai Dimyathi itu telah melahirkan banyak ulama terkemuka, antara lain KH Ali Ma’shum, mantan Ro’is Am NU.” Menurut Idris, inilah pesantren yang telah banyak berperan dalam pembentukan bobot keilmuan Hamid. Di sini ia juga belajar berbagai ilmu keislaman. Sepulang dari pesantren itu, ia tinggal di Pasuruan, bersama orangtuanya. Di sini pun semangat keilmuannya tak pernah Padam. Dengan tekun, setiap hari ia mengikuti pengajian Habib Ja’far, ulama besar di Pasuruan saat itu, tentang ilmu tasawwuf. Menjadi Blantik Hamid menikah pada usia 22 tahun dengan sepupunya sendiri, Nyai H. Nafisah, putri KH Ahmad Qusyairi. Pasangan ini dikarunia enam anak, satu di antaranya putri. Kini tinggal tiga orang yang masih hidup, yaitu H. Nu’man, H. Nasikh dan H. Idris. Hamid menjalani masa-masa awal kehidupan berkeluarganya tidak dengan mudah. Selama beberapa tahun ia harus hidup bersama mertuanya di rumah yang jauh dari mewah. Untuk menghidupi keluarganya, tiap hari ia mengayuh sepeda sejauh 30 km pulang pergi, sebagai blantik broker sepeda. Sebab, kata ldris, pasar sepeda waktu itu ada di desa Porong, Pasuruan, 30 km ke arah barat Kotamadya Pasuruan. Kesabarannya bersama juga diuji. Hasan Abdillah menuturkan, Nafisah yang dikawinkan orangtuanya selama dua tahun tidak patut tidak mau akur. Namun ia menghadapinya dengan tabah. Kematian bayi pertama, Anas, telah mengantar mendung di rumah keluarga muda itu. Terutama bagi sang istri Nafisah yang begitu gundah, sehingga Hamid merasa perlu mengajak istrinya itu ke Bali, sebagai pelipur lara. Sekali lagi Nafisah dirundung kesusahan yang amat sangat setelah bayinya yang kedua, Zainab, meninggal dunia pula, padahal umurnya baru beberapa bulan. Lagi-lagi kiai yang bijak itu membawanya bertamasya ke tempat lain. KH. Hasan Abdillah, adik istri Kiai Hamid, menuturkan, seperti layaknya keluarga, Kiai Hamid pernah tidak disapa oleh istrinya selama empat tahun. Tapi, tak pernah sekalipun terdengar keluhan darinya. Bahkan sedemikian rupa ia dapat menutupinya sehingga tak ada orang lain yang mengetanuinya. “Uwong tuo kapan ndak digudo karo anak Utowo keluarga, ndak endang munggah derajate Orangtua kalau tidak pernah mendapat cobaan dari anak atau keluarga, ia tidak lekas naik derajatnya”, katanya suatu kali mengenai ulah seorang anaknya yang agak merepotkan. Kesabaran beliau juga diterapkan dalam mendidik anak-anaknya. Menut Idris, tidak pernah mendapat marah, apalagi pukulan dari ayahnya. Menurut ldris, ayahnya lebih banyak memberikan pendidikan lewat keteladanan. Nasihat sangat jarang diberikan. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sangat prinsip, shalat misalnya, Hamid sangat tegas. Merupakan keharusan bagi anak-anaknya untuk bangun pada saat fajar menyingsing, guna menunaikan shalat subuh, meski seringkali orang lain yang disuruh membangunkan mereka, Hamid juga memberi pengajaran membaca al-Quran dan fiqih pada anak-anaknya di masa kecil. Namun, begitu mereka menginjak remaja, Hamid lebih suka menyerahkan anak-anaknya ke pesantren lain. Bukan hanya kepada anak-anak, tapi juga istrinya, Hamid memberi pengajaran. Waktunya tidak pasti. Kitab yang diajarkan pun tidak pasti. Bahkan, ia mengajar tidak secara berurutan dari bab satu ke bab berikutnya. Pendeknya, ia seperti asal comot kitab, lalu dibuka, dan diajarkan pada istrinya. Dan lebih banyak, kata Idris, yang diajarkan adalah kitab-kitab mengenai akhlak, seperti Bidayah al-Hidayah karya Imam Ghazali, “Tampaknya yang lebih ditekankan adalah amalan, dan bukan ilmunya itu sendiri,” jelasnya. Amalan dari kitab itu pula yang ditekankan Kiai Hamid di Pesantren salafiyah. Kalau pesantren-pesantren tertentu dikenal dengan spesialisasinya dalam bidang-bidang ilmu tertentu – misainya alat gramatika bahasa Arab atau fiqh, maka salafiyah menonjol sebagai suatu lembaga untuk mencetak perilaku seorang santri yang baik. Di sini, Kiai Hamid mewajibkan para santrinya shalat berjamaah lima waktu. Sementara jadwal kegiatan pesantren lebih banyak diisi dengan kegiatan wirid yang hampir memenuhi jam aktif. Semuanya harus diikuti oleh seluruh santri. Kiai Hamid sendiri, tidak banyak mengajar, kecuali kepada santri-santri tertentu yang dipilihnya sendiri. Selain itu, khususnya di masa-masa akhir kehidupannya, ia hanya mengajar seminggu sekali, untuk umum. Mushalla pesantren dan pelatarannya setiap Ahad selalu penuh oleh pengunjung untuk mengikuti pengajian selepas salat subuh ini. Mereka tidak hanya datang dari Pasuruan, tapi juga kota-kota Malang, Jember, bahkan Banyuwangi, termasuk Walikota Malang waktu itu. Yang diajarkan adalah kitab Bidayah al-Hidayah karya al-Ghazali. Konon, dalam setiap pengajian, ia hanya membaca beberapa baris dari kitab itu. Selebihnya adalah cerita-cerita tentang ulama-ulama masa lalu sebagai teladan. Tak jarang, air matanya mengucur deras ketika bercerita. Disuguhi Kulit Roti Kiai Hamid memang sosok ulama sufi, pengagum imam Al-Ghazali dengan kitab-kitabnya lhya Ulum ad-Din dan Bidayah al-Hidayah. Tapi, corak kesufian Kiai Hamid bukanlah yang menolak dunia sama sekali. Ia, konon, memang selalu menolak diberi mobil Mercedez, tapi ia mau menumpanginya. Bangunan rumah dan perabotan-perabotannya cukup baik, meski tidak terkesan mewah. Ia suka berpakaian dan bersorban yang serba putih. Cara berpakaian maupun penampilannya selalu terlihat rapi, tidak kedodoran. Pilihan pakaian yang dipakai juga tidak bisa dibilang berkualitas rendah. “Berpakaianlah yang rapi dan baik. Biar saja kamu di sangka orang kaya. Siapa tahu anggapan itu merupakan doa bagimu,” katanya suatu kali kepada seorang santrinya. Namun, Kiai Hamid bukanlah orang yang suka mengumbar nafsu. Justru, kata idris, ia selalu berusaha melawan nafsu. Hasan Abdillah bercerita, suatu kali Hamid berniat untuk mengekang nafsunya dengan tidak makan nasi tirakat. Tetapi, istrinya tidak tahu itu. Kepadanya lalu disuguhkan roti. Untuk menyenangkannya, Hamid memakan roti itu, tapi tidak semuanya, melainkan kulitnya saja. “O, rupanya dia suka kulit roti,” pikir istrinya. Esoknya ia membeli roti dalam jumlah yang cukup besar, lalu menyuguhkan kepada suaminya kulitnya saja. Kiai Hamid tertawa. “Aku bukan penggemar kulit roti. Kalau aku memakannya kemarin, itu karena aku bertirakat,” ujarnya. Konon, berkali-kali Kiai Hamid ditawari mobil Mercedez oleh H. Abdul Hamid, orang kaya di Malang. Tapi, ia selalu menolaknya dengan halus. Dan untuk tidak membuatnya kecewa, Hamid mengatakan, ia akan menghubunginya sewaktu-waktu membutuhkan mobil itu. Kiai Hamid memang selalu berusaha untuk tidak mengecewakan orang lain, suatu sikap yang terbentuk dari ajaran idkhalus surur menyenangkan orang lain seperti dianjurkan Nabi. Misalnya, jika bertamu dan sedang berpuasa sunnah, ia selalu dapat menyembunyikannya kepada tuan rumah, sehingga ia tidak merasa kecewa. Selain itu, ia selalu mendatangi undangan, di manapun dan oleh siapapun. Selain terbentuk oleh ajaran idkhalus surur, sikap sosial Kiai Hamid terbentuk oleh suatu ajaran yang dipahami secara sederhana mengenai kepedulian sosial islam terhadap kaum dlu’afa yang diwujudkan dalam bentuk pemberian sedekah. Memang karikaturis – meminjam istilah Abdurrahman Wahid tentang sifatnya. Tapi, Kiai Hamid memang bukan seorang ahli ekonomi yang berpikir secara lebih makro. Walau begitu, kita dapat memperkirakan, sikap sosial Kiai Hamid bukan hanya sekadar refleksi dari motivasi keagamaan yang “egoistis”, dalam arti hanya untuk mendapat pahala, dan kemudian merasa lepas dari kewajiban. Kita mungkin dapat melihat, betapa ajaran sosial islam itu sudah membentuk tanggung jawab sosial dalam dirinya meski tidak tuntas. Ajaran Islam, tanggung jawab sosial mula-mula harus diterapkan kepada keluarga terdekat, kemudian tetangga paling dekat dan seterusnya. Urut-urutan prioritas demikian tampak pada Kiai Hamid. Kepada tetangga terdekat yang tidak mampu, konon ia juga memberikan bantuannya secara rutin, terutama bila mereka sedang mempunyai hajat, apakah itu untuk mengawinkan atau mengkhitan anaknya. H. Misykat yang mengabdi padanya hingga ia meninggal, bercerita bahwa bila ada tetangga yang sedang punya hajat, Kiai Hamid memberi uang RP. plus 10 kg. beras. Islam mengajarkan, hari raya merupakan hari di mana umat Islam dianjurkan bergembira sebagai rasa syukur setelah menunaikan lbadah puasa sebulan penuh. Menjelang hari raya, sebagai layaknya seorang ulama, Kiai Hamid tidak menerima hadiah dan zakat fitri. Pages 1 2 3
cucu kh abdul hamid pasuruan